Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh,
Banyak
orang berpendapat bahwa kualitas ibadah hanya ditentukan oleh syarat, rukun dan
kekhusyukan dalam pelaksanaannya. Misalnya shalat yang berkualitas adalah yang
didahului oleh wudhu yang benar, suci pakaian dan tempatnya serta khusyuk dalam
melakukan setiap rukunnya. Demikian pula dengan ibadah-ibadah yang lain.
Saad bin Abi Waqqah ra bertanya kepada
Rasullullah SAW tentang rahasia agar ibadah dan doa-doanya cepat dikabulkan.
Rasullullah SAW tidak mengajari Saad bin Abi Waqqah ra tantang syarat, rukun
ataupun kekhusyukan. Rasullullah SAW mengatakan “Perbaikilah apa yang kamu
makan, hai Saad” (HR. Thabrani).
Ada sindiran yang hendak disampaikan
Rasullullah SAW dengan hadits di atas, yaitu bahwa manusia cenderung
memperhatikan kulit luar, tapi lupa akan hal-hal yang lebih penting dan
mendasar.
Setiap muslim pasti mengetahui bahwa
shalat atau haji harus dilakukan dengan pakaian yang suci. Pakaian yang kotor
akan menyebabkan ibadah tersebut tidak sah alias ditolak. Namun, betapa banyak
diantara kaum muslim yang lupa dan lalai bahwa makanan yang diperoleh dari cara
yang kotor juga akan berakhir pada ditolaknya ibadah dan munajat manusia.
Rasullullah SAW telah mengingatkan
:”Demi Zat yang menguasai diriku, jika seseorang mengkonsumsi harta yang haram,
maka tidak akan diterima amal ibadahnya selama 40 hari” (HR. Thabrani).
Dalam hadits lain yang dicuplik Ibnu Rajab al Hambali, Rasullullah SAW bersabda
: “Barangsiapa yang di dalam tubuhnya terdapat bagian yang tumbuh dari harta
yang tidak halal, maka nerakalah tempat yang layak baginya”.
Dalam
hadits tersebut terlihat dengan jelas, hubungan antara kualitas ibadah dan
sumber penghasilan. Bahkan karena ingin memastikan bahwa semua yang dikonsumsi
berasal dari sumber yang halal, para nabi dan rasul menekuni suatu pekerjaan
secara langsung untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Nabi
Daud adalah seorang pandai besi dan penjahit, Nabi Zakaria seorang tukang kayu,
Rasullullah SAW seorang pedagang, dan seterusnya. Demikian pula dengan para
sahabat yang mulia, yang sebagian besar kaum Muhajirin adalah pedagang, sedang
kamu Anshar mengandalkan hidupnya dari pertanian.
Lebih
dari itu, ketika seseorang bergelimang harta haram, tidak hanya menodai
ibadahnya sendiri, tetapi juga menodai ibadah dan masa depan anak isterinya.
Seperti ucapan Syeikh Athiyah dalam Syarh al Arbain an Nawawiyah : “Orangtua
yang seperti itu secara sengaja membuat ibadah dan doa anak-anaknya tertolak.
Sebab ia menjadikan tubuh mereka tumbuh dari harta yang haram”.
Semoga
kita dapat meningkatkan kualitas hidup, dengan memperbaiki sumber penghasilan menjadi
yang halal, sehingga hidup menjadi berkah, semoga. . .
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Pustaka :
Abdullah Hakam Shah MA, Hikmah, Ibadah dan
Penghasilan, Republika Edisi 14 April 2010, Mahaka Media,2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar